JAKARTA, Hinews – Perilaku netizen Indonesia beberapa kali mendapat sorotan. Kompaknya warganet dalam menyerang hal-hal yang dianggap salah menjadi catatan miring interaksi mereka di dunia maya.
Hal ini diperkuat dengan hasil riset Microsoft yang dirilis 2020 lalu, menempatkan netizen Indonesia berada di peringkat ketiga terbawah dari 32 negara yang disurvei. Bahkan di Asia Tenggara, netizen Indonesia berada dalam peringkat teratas ketidaksopanan.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof Koentjoro mengungkapkan, ada pemahaman yang salah dalam memaknai kebebasan. Tidak hanya di dunia maya, perilaku masyarakat Indonesia belakangan melupakan budaya tepo seliro.
“Kalau saya dicubit sakit, ya jangan mencubit. Jangan menyinggung, kita menahan diri gitu lho,” ujarnya dalam wawancara dengan merdeka.com, 8 Februari lalu.
“Oleh banyak kalangan, kebebasan ya kebebasan. Bebas yang sebebas-bebasnya, padahal tidak. Ketika Kemerdekaan adalah hak setiap manusia itu kita setuju bahwa kebebasan adalah hak setiap manusia, itu kita setuju. Tetapi di dalam kebebasan, di dalam kemerdekaan itu terkandung hak orang lain,” kata Koentjoro, dikabarkan dari merdeka.
Berikut wawancara lengkap reporter merdeka.com M Genantan Saputra dengan Prof Koentjoro:
Bagaimana pendapat Anda mengenai sikap netizen di Indonesia?
Kita itu salah dalam memaknai kebebasan. Hampir secara keseluruhan, bukan hanya di dalam perilaku netizen, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, kita salah memaknai kebebasan. Yang namanya kebebasan itu sebenarnya mengandung pengertian, penghargaan atas hak orang lain
Tetapi oleh banyak kalangan kebebasan ya kebebasan, bebas yang sebebas-bebasnya padahal tidak. Ketika kemerdekaan adalah hak setiap manusia, itu kita setuju bahwa kebebasan adalah hak setiap manusia, itu kita setuju. Tetapi di dalam kebebasan, di dalam kemerdekaan itu terkandung hak orang lain.
Artinya saya itu hidup bermasyarakat, saya tidak bisa seenaknya saya selama tidak mengganggu orang lain, tapi kan tidak. Itu dasarnya dari saya. Saya maknai itu.
Berarti salah memaknai kebebasan?
Salah memaknai kebebasan dan hukumnya tidak tegas. Juga karena kebebasan itu kita sekarang sudah terbentuk, pernah ter-segmented kalau dalam dunia politik, politik identitas, maka efek echo chambering itu nampak.
Jadi kalau kita lihat pada kelompok-kelompok di Twitter, contohnya bangsanya Eko Kuntadhi, Denny Siregar itu, kemudian ada kelompok lain, Kita sudah bisa melihat ini (netizen) kelompok ini, ini kelompok ini. Sudah terpeta, dan itu pengaruh kepada ketidaketisan karena merasa dirinya benar, ada pendukungnya.
Kalau ada pendukungnya itu berlaku psikologi massa, semakin banyak pendukungnya semakin itu kuat.
Mengapa netizen gampang mem-bully? Apa karena konten buruk atau iseng aja?
Bukan, karena hukumnya tidak jelas. Kalau saya bicara konten, konten itu ada dua. Orang itu (mengunggah sesuatu) sebagai rasa, perasaannya dia, atau mencari follower.
Saya itu dulunya senang mengikuti kasusnya keluarga Vanessa Angel. Saya mengikuti alurnya, tapi akhir-akhir ini saya tidak tertarik lagi, karena judul beritanya dengan isinya beda.
Jadi kalau menurut saya yang terjadi di sini orang asal ngomong, kemudian untuk mencairkan follower. Apakah terjadi karena sistem? Karena follower itu berhubungannya dengan duit, cuan maka orang asal membuat seperti itu, kemudian menjadi tidak kreatif
Apa dampak paling parah dari hujatan netizen?
Dampak yang terjadi tergantung ya. Paling parah bisa bunuh diri karena mereka merasa, depresi lah karena diserang terus terusan.
Karena dia diserang terus menerus dan mengalami sebuah depresi, kemudian menarik diri, kalau orang sudah terbiasa, mereka harus membuka (medsos) lagi, ketika dia membuka isinya menghujat dia maka dia semakin down.
Bagaimana seharusnya sikap selebriti atau publik figur sebelum memposting sesuatu?
Harus dipikirkan dulu, dicek ricek dan sebagainya. Dan juga jangan bermain-main. Istilahnya kita harus bisa melihat bahwa kalau saya sedang merenung.
Contoh sederhana pendapatnya Pak Dudung (soal Tuhan bukan orang Arab). Kalau menurut saya enggak ada yang salah. Kalau dipahami dengan benar bahwa berdoalah dengan bahasamu karena kalau saya berdoa dengan bahasa yang saya tidak tahu sendiri artinya itu apa yang saya sampaikan?
Kemudian apa, Tuhan itu bukan orang Arab karena banyak orang memaksakan doa-doa itu dengan bahasa Arab kan itu. Kayak begitu kok dipolitisir, ya ini untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Jadi netizen dan publik figur harus sama-sama berpikir dalam memposting sesuatu?
Bukan itu, ketika Anda menanyakan kepada masalah kebebasan, sekarang di Indonesia sudah terbentuk ada yang namanya terror factory, perusahaan atau kelompok yang membuat teror-teror, membuat isu-isu yang dampaknya orang tidak menghargai tadi. Tersulut emosinya, kemudian dia tidak sopan, seperti itu, yang saya khawatirkan itu. Di-setting. Tapi kan kalau di-setting itu sifatnya individual, tapi kalau factory ada kelompok kelompoknya tertentu yang memang sudah menyiapkan itu
Di platform media sosial mana yang paling banyak netizen membully?
Kalau yang paling banyak misalnya WhatsApp itu yang paling sopan dengan kelompok-kelompoknya. YouTube itu tadi saya yang ceritakan kadang-kadang judul dengan isi tidak sama. Tetapi kalau Twitter di situ kasar yang terjadi menurut saya, saya tidak berani masuk Twitter, tidak mau menulis di Twitter.
Hanya tiga itu yang banyak saya ikuti, tapi kalau Twitter itu kata-kata kotor, kata-kata tidak mendasar asal ngomong itu ada di situ. Barangkali yang di Twitter itu orang dinilai yang masalah etikanya tadi. Tapi kalau WhatsApp itu bagus karena kelompoknya kita kelompok yang sama biasanya. Kalau YouTube kan gambar-gambar. Saya juga banyak membuat YouTube untuk kuliah, banyak kemanfaatannya, tapi YouTube juga banyak digunakan untuk berita berita bohong tidak benar.
Dari kelompok umur mana netizen yang gampang menghujat?
Oh itu sangat sangat terbaca, khusus di Twitter itu terbaca sekali. Apalagi itu terbaca menghujat. Ini kelompok pro ini, kelihatan sekali. Kalau tua muda sama saja yang terjadi.
Bagaimana seharusnya netizen Indonesia bersikap di medsos?
Kalau saya, saya senang budaya Jawa. Saya orang Jawa. Yang pertama tepo seliro. Tepo seliro itu (artinya) kalau saya ngomong begini tersinggung tidak. Karena pendidikan kita terlalu banyak mengarah kepada kognitif, olah pikir. Tidak pernah pendidikan kita, jarang yang pada olah rasa.
Karena itu apa? Merenung dulu. Kalau saya dicubit sakit, ya jangan mencubit. Jangan menyinggung, kita menahan diri gitu lho. Kalau itu bisa kita berikan, kita akan sangat manis. Dan kalau kita bicara dengan santai, enak itu sebetulnya menjadi adem. Tapi kalau melihat Twitter itu ngeri melihat segala sesuatu.
Sudah ada UU ITE, apakah tidak membuat takut netizen?
UU ITE itu bagus, tapi persoalannya orang-orangnya. Maaf perilaku orang kalah itu kemudian menyalahkan kepada undang-undangnya berpihak kepada pemerintah, selalu mengatakan begitu. Karena mereka merasa di-bully. Dan itu dilakukan banyak orang orang berpengaruh.
Coba isu misalnya sekarang negara Indonesia ulama dipinggirkan. Semuanya ngomong begitu. Padahal enggak ada itu. Sehingga orang-orang yang sudah terbentuk, kelompok tadi langsung berpihak ke situ.
Demikian juga ITE kita dibuat aturan begini begini, aturannya disebut mereka membelenggu kami, membelenggu kebebasan kami, berserikat, hak.
Hayo sekarang contoh sederhana, di medsos saya dengar FPI baru diproklamirkan. Kemudian, ditanya hak ini adalah pasal 29 melindungi, lah iya, memang itu melindungi tapi kalau itu membuat badan ada aturannya. Mereka tidak melihat aturannya, tapi yang dilihat haknya. Dan masih banyak lagi contoh lainnya. Kalau seperti itu tidak ditindak, orang itu mudah bergerak nanti.(qqdylm)