Exemple

Kabar Baik, DPR Akan Revisi Presidential Threshold, tapi…

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra

POJOKSATU.id, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Ahmad Dasco mengatakan akan merevisi UU Pemilu yang mengatur Presidential Threshold.

Namun, revisi tersebut tidak akan dilakukan sekarang, melainkan setelah Pemilu 2024.

“Proses revisi UU Pemilu akan dilakukan, tapi mungkin nanti,” kata Dasco, di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (20/12/2021).

Alasan revisi UU Pemilu tak dilakukan sekarang, lantaran tahapan proses Pemilu 2014 sudah mulai berjalan.

“Tahapan-tahapan Pemilu ini akan terganggu kalau melakukan revisi-revisi yang waktunya juga enggak akan cukup,” terangnya.

Dasco menekankan, ini bukan berarti DPR enggan mendengar aspirasi masyarakat.

Namun karena keterbatasan waktu, proses revisi itu tidak mungkin dilakukan sekarang.

“Sehingga, berbagai aspirasi tersebut bisa ditampung untuk revisi UU Pemilu yang kemungkinan setelah 2024,” pungkas Dasco.

Untuk diketahui, ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold sedang digugat ke Mahakamah Konstitusi (MK).

Gugatan tersebut dilakukan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan.

Kuasa hukum Gatot Nurmantyo, Refly Harun mengatakan, gugatan dilakukan agar pencalonan presiden tidak lagi harus miliki suara 20 persen.

“Menurut kami, pembatasan yang dilakukan presidential threshold tidak reasonable,” kata Refly, Rabu (15/12).

“Tidak dimaksudkan demi menjaga ketertiban masyarakat dan sebagainya yang tercantum dalam pasal 28J,” sambungnya.

Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden menimbulkan ketidakadilan, khususnya bagi partai politik baru.

Aturan main pemilu saat ini mensyaratkan dukungan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Jumlah kursi dan perolehan suara yang dimaksud merujuk pada hasil pemilu legislatif di periode sebelumnya.

“Partai-partai baru, Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Prima itu tidak bisa mengajukan calon karena tidak punya kursi,” ujarnya.

Refly menyadari sudah ada sejumlah gugatan terhadap aturan presidential threshold sebelumnya.

Gugatan-gugatan itu pun belum ada yang pernah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Meski demikian, ia tetap optimistis gugatan dikabulkan MK sekaligus untuk menguji independensi MK.

“Saya menganggap tidak diterimanya (gugatan sebelumnya) itu justru karena kuatnya cengkeraman oligarki,” tuturnya.

“Kita ingin menguji kembali independensi Mahkamah Konstitusi karena pasal presidential threshold yang jelas secara konstitusi tidak

ada, dampaknya juga kita rasakan buruk bagi demokrasi,” sambungnya. (muf/pojoksatu)

WhatsApp